Senin, 14 Maret 2011

Bertapa "Ngrame"

Judul di atas diambil dari bahasa Jawa, "Topo Ngrame".
"Topo" berarti bertapa atau bersemadi dan "ngrame" berarti keramaian.
Kalau digabung berarti "bertapa di tengah keramaian".
Istilah itu diperoleh dari kalangan orang tua bijak saat saya masih remaja.
Saat itu, di tengah upaya anak-anak muda mencari jati diri dan menatap masa depan, orang tua bijak berpesan, "Kalau kamu lulus bertapa di tengah kesunyian, itu hal yang biasa.
Namun kalau kamu sukses bertapa di tengah keramaian kehidupan, itu merupakan prestasi yang luar biasa". .
Pesan yang bernada filosofis itu tiba-tiba muncul kembali di benak ketika saya menyaksikan gonjang-ganjing kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di tanah air tercinta ini.
Kemudian saya mencoba mengingat-ingat kembali maksud yang lebih dalam dari pesan para leluhur bijak tersebut.
Intinya kira-kira begini, orang yang tengah bertapa di tempat sunyi sepi biasanya akan mendapat godaan berat sehingga ringkat kesulitan untuk mengatasinya pun berat Kalau si pertapa berhasil, biasanya kita akan menilainya sebagai orang hebat atau orang sakti.
Akan tetapi, keberhasilan tersebut ternyata masih kalah hebat dibandingkan dengan si pertapa tersebut sukses menjalani perta-paannya di tengah keramaian.
Sebab, secara substansial, justru di tengah keramaian kehidupan nyata itulah terdapat banyak godaan, gangguan, dan tantangan yang datangnya dari tiga hal harta, takhta, dan wanita.
Banyak orang yang gagal menghadapi godaan yang bersumber dari tiga hal tersebut

Sebagai bukti, kini praktik politik uang semakin merajalela untuk meraih kekuasaan atau jabatan.
Setelah berhasil meraih kedudukan atau jabatan pun sering kali malah melakukan korupsi.
Langkah terlarang itu (terpaksa) ditempuh mungkin karena ingin hidup mewah atau (terpaksa) harus membiayai lebih dari satu rumah tangga atau keluarga, apalagi kalau gaya hidupnya serbakonsumtif.

Khususnya bagi remaja atau generasi muda, godaan yang menghadang juga bermacam-macam.
Gaya hidup hedonis serta konsumtif yang berlangsung di negeri ini bagaimanapun telah mengganggu konsentrasi mereka untuk tekun menimba ilmu.
Misalnya, banyak anak kita yang rela nongkrong berlama-lama di depan layar televisi hanya untuk mencermati tayangan gosip.

Banyak pula pelajar yang berangkat sekolah membawa HP (telefon seluler).
Penggunaan HP yang tidak tepat sasaran telah membuat konsentrasi belajarnya terpecah.
Kalau tidak percaya, tanyalah kepada kalangan guru yang sering mengeluh karena muridnya asyik ber-HP ria padahal guru tersebut sedang mengajar mereka.
Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasil Ujian Nasional tahun ini sungguh mengejutkan karena ada sekolah yang kelulusan muridnya nol persen.

Menyimak gonjang-ganjing penyelenggaraan berikut hasil UN, banyak orang tua atau lansia yang kemudian mencoba menoleh ke masa lalu ketika mereka masih menjadi murid sekolah.
Saat itu, mereka terpaksa menggunakan penerangan lampu minyak saat belajar, tetapi prestasi sekolahnya bagus.
Mereka menghadapi ujian dengan tenang karena telah siap lahir batin.
Mereka tidak perlu mencari bocoran soal.
Saat itu para murid juga sangat hormat kepada guru.

Apakah rasa hormat para murid kepada para gurunya itu sekarang masih ada?
Entahlah, tentu kalangan guru yang mampu menjawabnya secara tepat.
Yang jelas, kita sangat prihatin mendengar berita, ada sekolah yang dirusak muridnya sendiri gara-gara tidak lulus UN.
Ya, memang tidak mudah bertapa di tengah hiruk pikuk kehidupan dewasa ini.

(Widodo Asmovvi-yoto/"PR")***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar