Minggu, 16 Januari 2011

Karni Butuh Uang, Kasiem Butuh Kebebasan


"JOKI" NARAPIDANA

Karni Butuh Uang, Kasiem Butuh Kebebasan

Jumat, 7 Januari 2011 | 04:39 WIB




Oleh Kris Razianto Mada dan Adi Sucipto Kisswara



Praktik mafia hukum tak hanya berputar di pusat kekuasaan.

Di sudut daerah pun, mafia hukum juga berkeliaran.

Itulah yang terjadi dalam praktik tukar-menukar atau ”joki” narapidana di Lembaga Pemasyarakat- an Bojonegoro, Jawa Timur, 27 Desember 2010.

Karni (57), yang menjadi ”joki” narapidana Kasiem, hanya puncak gunung es mafia hukum.

Dalam kasus Karni-Kasiem, praktik mafia hukum itu berkelindan dengan kemiskinan.

Motivasi Karni semata-mata kesulitan hidup.

Karni butuh uang, sedangkan Kasiem membutuhkan kebebasan karena sakit.

Peluang itu yang dimanfaatkan mafia hukum.

Kebutuhan biaya pengobatan Sadirah (74), sang ayah, menjadi alasan Karni (57) bersedia menggantikan Kasiem dipenjara di LP Bojonegoro.

Sadirah terbaring di ruang tengah rumah di Dusun Kalipang, Desa Leran, Kabupaten Bojonegoro, saat dikunjungi Kompas, Rabu (5/1).

Karni dijanjikan bayaran Rp 10 juta.

Janji itu disampaikan Joni Feriangga alias Angga, mertua salah seorang keponakan Karni.

Namun, Angga baru membayar Rp 7,5 juta. Sisa Rp 2,5 juta tidak jelas kapan akan dibayar.

Mungkin tak akan pernah diterima Karni karena Angga ditahan polisi atas kasus penukaran terpidana tersebut.

Karni sendiri hampir pasti dijadikan tersangka dalam kasus itu.

Angga menyodorkan Karni ke Hasnomo, pengacara Kasiem, karena tahu Karni sedang butuh uang.

Karni harus melunasi utang Rp 6 juta di sebuah bank.

Jika tidak lunas, rumah yang ia tempati bersama Sadirah akan disita.

”Lik (Bibi) Karni menggadaikan sertifikat rumah ini,” ujar Diana, salah seorang keponakan Karni.

Dibandingkan dengan rumah di sekitarnya, rumah Karni relatif lebih baik.

Seluruh bangunan utama berupa tembok bercat putih walau sudah kusam.

Separuh dinding depan dilapisi keramik merah tua.

Namun, rumah itu tidak berplafon sehingga cahaya matahari terlihat menembus di sela-sela genteng.

”Di sini jarang ada rumah bagus.

Warga sini tidak punya penghasilan tetap dan besar.

Sebagian hanya bekerja serabutan, seperti Karni,” ujar Kepala Dusun Kalipang Bambang Budiharto (36).

Karni juga tidak punya penghasilan tetap.

Begitu pula Sutiah, adik Karni, yang juga tinggal di rumah Karni.

Kedua anak Sadirah itu sudah beberapa tahun menjanda dan tidak punya penghasilan.

”Suami Karni meninggal di Sumatera. Kusno, anak Karni, sudah lama bekerja di Kalimantan,” ujar Diana.

Menurut Diana, bibinya otomatis menjadi andalan untuk menutupi biaya pengobatan Sadirah.

Kepolisian Resor (Polres) Bojonegoro juga menetapkan Widodo Priyono sebagai tersangka.

Widodo adalah anggota staf Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro yang mengantarkan Kasiem dari Kantor Kejari Bojonegoro ke LP Bojonegoro.

Polisi juga menetapkan pengacara Hasnomo sebagai tersangka.

Menurut Kepala Polres Bojonegoro Ajun Komisaris Besar Widodo, sampai Kamis (6/1),

polisi sudah memeriksa delapan orang.

Menurut Widodo, Hasnomo dinilai berperan penting karena dimintai bantuan oleh Kasiem untuk meringankan hukumannya dan tidak sampai menjalani hukuman.

Kasiem membayar Rp 22 juta kepada Hasnomo, sebesar Rp 10 juta di antaranya diberikan kepada Karni apabila mau menggantikan hukuman Kasiem.

Penyidik Polres Bojonegoro juga memeriksa Atmari, Kepala Subseksi Registrasi LP Bojonegoro.

Bahkan, Atmari pun diperiksa Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Tim Investigasi dari Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur.

Seusai diperiksa, Atmari membantah tuduhan Hasnomo bahwa dirinya yang punya ide penukaran narapidana.

Atmari menyatakan, hanya pernah didatangi Hasnomo di rumahnya pada awal Desember 2010 terkait dengan eksekusi Kasiem.

Kasiem yang divonis 3,5 bulan penjara karena kasus penyelewengan pupuk bersubsidi mengaku tidak mengenal Atmari dan Karni.

Dia hanya ingin diringankan dan tidak menjalani hukuman dengan meminta bantuan Hasnomo.

Sejumlah mantan narapidana kepada Kompas mengungkapkan, penggunaan ”joki” adalah praktik lazim.

Jupri, seorang mantan tahanan di Jakarta, membenarkan praktik itu lazim di Jakarta dan sekitarnya. ”Tidak aneh kalau hal itu terjadi juga di daerah,” ujarnya.

Kasus joki narapidana itu membuat Jaksa Agung Basrief Arief langsung bertindak.

Bahkan, Kepala Kejari Bojonegoro Wahyudi, karena pengawasan yang kurang baik, ditarik ke Kejagung.

Petugas pengawal tahanan, Widodo Priyono, diberhentikan secara tidak hormat.

Menurut Ketua Ikatan Sarjana Hukum Indonesia Hikmahanto Juwana, kasus ”joki” narapidana di Bojonegoro menambah panjang daftar kekacauan hukum di negeri ini.

Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap tegaknya negara hukum semakin menipis.

Jika hal itu dibiarkan, negara bisa dalam bahaya karena bisa memunculkan pengadilan jalanan.

(BEE/ONG/WHY/AIK/ANA)

Guru Besar UI Didemo Masyarakat Adat Dayak




Liputan 6 - Minggu, 9 Januari



Palangkaraya :

Guru Besar Sosiolog Univeritas Indonesia Prof. Thamrin Amal Tomagola menuai kecaman keras ribuan masyarakat Dayak di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, baru-baru ini.

Pernyataannya dianggap menghina adat istiadat setempat.

Dengan membawa poster dan selebaran, ribuan warga suku Dayak memprotes pernyataan Thamrin yang menyebutkan berhubungan badan tanpa ikatan nikah di Suku Dayak adalah hal biasa.

Pernyataan itu dikeluarkan Thamrin saat menjadi saksi ahli dalam kasus video porno Ariel.

Mereka pun menuntut Thamrin meminta maaf secara terbuka.

Aksi yang dipusatkan di Bundaran Besar Palangkaraya itu sempat membuat kawasan arus lalu lintas macet.

Namun aksi berlangsung damai.

Para pengunjuk rasa langsung membubarkan diri usai berdemo.(ADI/ULF)





Catatan :

Menurut buku-buku Sosiologi, apa yang dikatakan Profesor itu benar

Susahnya jadi sosiolog .....

Andai aku jadi Gayus

Bone Paputungan



Sebelas Maret

Diriku masuk penjara

Awal ku menjalani
Proses masa tahanan



Hidup di penjara

Sangat berat kurasakan

Badanku kurus
Karena beban pikiran



Kita orang yang lemah

Tak punya daya apa-apa

Tak bisa berbuat banyak
Seperti para koruptor



Andai Ku Gayus Tambunan

Yang bisa bisa pergi ke Bali

Semua keinginannya
Pasti bisa terpenuhi



Lucunya di negeri ini

Hukuman bisa dibeli

Kita orang yang lemah
Pasrah akan keadaan



Tujuh Oktober

kubebas dari penjara

Menghirup udara segar
Lepaskan penderitaan



Wahai saudara

Dan para sahabatku

Lakukan yang terbaik
Jangan engkau salah arah



Andai Ku Gayus Tambunan

Yang bisa bisa pergi ke Bali

Semua keinginannya
Pasti bisa terpenuhi



Lucunya di negeri ini

Hukuman bisa dibeli

Kita orang yang lemah
Pasrah akan keadaan



Biarlah semua menjadi kenangan

Kenangan yang pahit
dalam hidup ini



Andai Ku Gayus Tambunan

Yang bisa bisa pergi ke Bali

Semua keinginannya
Pasti bisa terpenuhi



Lucunya di negeri ini

Hukuman bisa dibeli

Kita orang yang lemah

Pasrah akan keadaan





http://bloggermaniacom.blogspot.com/2011/01/lagu-andai-aku-jadi-gayus.html

http://www.youtube.com/watch?v=-fdKRmNlk7o&feature=player_embedded

Jujur Vs Berbohong

Minggu, 16 Januari 2011 | 03:39 WIB

KRISTI POERWANDARI

Yang tidak biasa dan tergelincir berbohong akan gelisah karena ada yang terasa salah.
Yang berbohong dalam keseharian sebagai cara hidup kehilangan kepedulian, kesantunan, rasa malu, dan martabat.
Mereka adalah titik-titik nila yang merusak susu sebelanga.

Justru karena pernah berbohong, saya jadi mengerti bahwa itu perilaku salah karena langsung saja memunculkan rasa gelisah, takut, dan bingung.
Bahkan, saya langsung merasa muak kepada diri sendiri.
Bahkan, ketika orang lain tidak tahu pun, saya tetap merasa kecewa pada diri sendiri karena tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Terlebih bila gara-gara takut ketahuan, kebohongan itu terpaksa saya tutupi dengan kebohongan lain, kebohongan lain, dan kebohongan lain lagi.

Perilaku apa pun yang intensinya mengarahkan pada penyimpulan yang salah sesungguhnya adalah berbohong.
Semua orang pernah melakukannya, awalnya untuk melindungi diri dari situasi yang dianggap mengancam.

Penelitian Victoria Talwar dkk (2002, 2007) memperlihatkan bahwa perilaku berbohong telah ditampilkan anak pada usia sangat dini.
Satu contoh yang sering disebut adalah penelitian eksperimental, di mana anak diminta tidak mengintip mainan atau tidak bermain dengan mainan yang tersedia ketika ditinggalkan sendirian.
Karena kesulitan mengendalikan dorongan rasa ingin tahu, sebagian besar anak tidak mematuhi instruksi tersebut dan tetap mengintip atau mencoba bermain dengan mainan yang ada.
Ketika kemudian ditanya, mereka tidak mengakui tindakannya.

Mengintip mainan atau bermain bukan suatu tindakan buruk, tetapi dalam tahapan perkembangan moralnya, anak memahami ”baik-buruk” dari sejauh mana mereka mematuhi instruksi.
Jadi, ketika tidak mematuhi instruksi, mereka merasa buruk.
Karena takut dihukum, mereka berbohong.
Yang menarik adalah anak prasekolah menganggap berbohong itu sangat buruk dan yakin seorang yang berbohong akan merasa bersalah.
Mereka bahkan menganggap berbohong karena tidak patuh itu lebih buruk daripada ketidakpatuhan itu sendiri.
Artinya, pada usia sangat dini, anak mengerti bahwa tidak mematuhi aturan itu tidak baik, tetapi lebih buruk lagi berbohong.

Meski berkata jujur jauh lebih baik, menutupi kebenaran atau berbohong itu berbeda-beda kadarnya.
Kekacauan penegakan hukum yang ramai diliput media dan membuat kaget kita semua di awal tahun ini terkait dengan rangkaian perilaku berbohong yang seolah sudah jadi kebiasaan, hobi, cara hidup.
Ini menjatuhkan harga diri bangsa hingga sejatuh-jatuhnya.


Inti korupsi

Talwar menjelaskan bahwa kemampuan untuk berbohong secara meyakinkan akan makin berkembang sejalan usia.
Untuk berbohong meyakinkan, kita harus tidak saja memproduksi pernyataan palsu, tetapi juga menampilkan konsistensi antara pernyataan bohong pertama dan pernyataan-pernyataan berikutnya.
Artinya, kita harus banyak memproduksi rangkaian pernyataan palsu untuk menghindari inkonsistensi agar kebohongan tak terdeteksi.

Ditemukan tidak ada hubungan antara perilaku aktual dan pemahaman konseptual serta moral.
Anak yang menyuruh anak lain bicara jujur toh juga menampilkan perilaku berbohong untuk menutupi kesalahan sendiri.
Tampaknya lebih parah lagi yang tertampilkan pada orang dewasa karena orang dewasa justru sering berkata sangat moral dan religius, tetapi di belakang layar berperilaku sangat berkebalikan.

Menyamarkan, menutupi kebenaran, atau berbohong adalah inti dari semua tindakan buruk, malapraktik, penyelewengan kekuasaan, dan korupsi yang terus- menerus kita bahas belakangan ini.
Sistem makro yang terbangun dapat sangat memudahkan terjadinya kebohongan, penyelewengan, dan korupsi.
Takut terungkap keterlibatannya dalam kasus sama atau kasus-kasus lainnya, atau senang menikmati keuntungan duniawi dari kebohongannya, para pihak diam saja, pura-pura tidak tahu, atau malah melakukan langkah aktif untuk menutup informasi. Demikianlah berbohong dan korupsi melembaga.

Zyglidopoulos (2008) melihat betapa rasionalisasi dan overkompensasi sering digunakan individu untuk mengatasi disonansi atau kekacauan batin akibat berbohong/korupsi.
Vikas Anand dkk (2005) melihat lebih jauh lagi bahwa taktik rasionalisasi digunakan bukan saja oleh individu, tetapi juga kelompok secara kolektif dan kelembagaan untuk menetralisasi penyesalan atau perasaan negatif.
Bahkan, taktik- taktik sosialisasi ”pembenaran” juga kemudian diberikan kepada orang-orang baru yang masuk dalam organisasi.

Menjaga martabat

Yang ngeri adalah bila saking seringnya bicara tidak jujur, manusia mematikan kemanusiaannya: kepedulian, hati nurani, tanggung jawab sosial, dan martabat diri. Bersyukurlah kita yang pernah berbohong, merasa sangat tidak nyaman, dan tersadarkan bahwa itu adalah petunjuk dari kebaikan hidup untuk berhenti.

Bersyukurlah kita yang berhenti pada satu kebohongan, tidak menindaklanjuti dengan rangkaian pernyataan palsu lain.
Bersyukurlah kita yang tidak seperti banyak tokoh yang ramai dimuat dalam media. Mereka sungguh telah membunuh martabatnya karena lebih takut berbicara jujur daripada berbicara bohong, menciptakan realitas palsu untuk menghilangkan kemuakan pada diri sendiri.
Meski hidup dalam ketidakjujuran, fasih berkelit dengan penjelasan teknis-normatif, dan tetap mantap mengklaim diri sebagai pemimpin.

Penegak hukum dan pemimpin yang menutup-nutupi kebenaran dan tidak mampu berkata jujur menjadi penanggung jawab utama kehancuran seluruh sendi kehidupan lembaga dan bangsa yang dipimpinnya.
Dengan nyaris tiadanya pemimpin yang memberi keteladanan, semoga siapa pun juga terpanggil untuk mengembalikan martabat kemanusiaan kita, setidaknya dengan mulai memimpin diri sendiri untuk berkata dan bertindak jujur.
Belum terlambat untuk menjaga martabat.
Biarlah keajaiban kebaikan menuntun kita semua untuk membawa diri, keluarga, lembaga, masyarakat, dan bangsa menjadi lebih baik pada tahun 2011 ini.