Selasa, 27 Juli 2010
Tunjangan Belum Cair, Guru Resah
Yogyakarta
Laporan wartawan KOMPAS Irene Sarwindaningrum
Minggu, 25 Juli 2010 | 18:06 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah guru resah karena belum menerima tunjangan sertifikasi sejak Januari hingga Juli ini. Mereka berharap tunjangan sertifikasi dapat cair sebelum bulan puasa, mengingat tingginya kebutuhan biaya sekolah untuk awal tahun ajaran baru serta harga kebutuhan pokok yang meningkat.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi DI Yogyakarta Zainal Fanani mengatakan, lebih dari enam bulan selama tahun 2010 ini, tunjangan sertifikasi untuk guru pegawai negeri sipil belum turun. Padahal, tunjangan sebesar satu kali gaji pokok sebulan itu seharusnya diterimakan setiap tiga bulan sekali.
"Jadi sudah dua periode ini kami belum menerima tunjangan sertifikasi. Padahal, para guru sudah memenuhi semua syarat yang diminta pada akhir 2009 dan Mei lalu. Tapi sampai sekarang sama sekali belum ada kepastian," katanya di Yogyakarta, Minggu (25/7/2010).
Menurut Zainal , keresahan para guru tercermin dari banyaknya keluhan mengenai belum turunnya tunjangan sertifikasi yang masuk ke PGRI, baik tingkat kota dan kabupaten maupun tingkat provinsi. Jumlah keluhan meningkat pada Bulan Juni seiring dengan meningkatnya kebutuhan biaya para guru.
"Keluhan-keluhan ini telah berusaha disampaikan ke dinas terkait, namun hingga saat ini belum ada hasil memuaskan. Kami sempat dijanjikan akan menerima tunjangan sertifikasi awal Juni. Tapi sampai sekarang nyatanya belum turun juga," ujarnya.
Zainal menuturkan, tunjangan sertifikasi amat penting bagi para guru di saat kebutuhan hidup sedang tinggi-tingginya seperti sekarang ini. Banyak guru membutuhkan biaya tambahan untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau kuliah anaknya di awal tahun ajaran baru. Beban ekonomi bertambah berat karena harga kebutuhan pokok yang meningkat menjelang bulan puasa ini.
Gaji pokok guru yang berkisar Rp 2- 2,5 juta sebulan dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan di luar pengeluaran rutin guru. Hingga saat ini, ujar Zainal, masih banyak guru yang tak mampu membiayai atau terpaksa berhutang untuk biaya kuliah anaknya.
Untuk tahun 2010 ini, jumlah guru penerima tunjangan sertifikasi mencapai lebih dari 13.000 orang.
Sabtu, 24 Juli 2010
KINERJA BURUK Pimpinan DPR Kehabisan Akal Tegur Anggota Malas
Minggu, 25 Juli 2010 | 03:28 WIB
Jakarta, Kompas - Sejumlah unsur pimpinan DPR dan Badan Kehormatan DPR setuju mengumumkan kepada publik tentang kinerja anggota DPR yang malas menghadiri rapat. Mereka juga menyetujui pemanfaatan teknologi pemindai sidik jari (fingerprint) deteksi kepastian kehadiran anggota dalam rapat-rapat resmi DPR.
Usulan mengumumkan absensi anggota DPR dan pemanfaatan pemindai sidik jari tersebut mengemuka di tengah keprihatinan publik akan banyaknya anggota DPR yang malas menghadiri rapat-rapat di DPR.
”Pimpinan Dewan sudah kehabisan akal untuk mencari cara menegur anggota DPR yang malas. Seharusnya itu tugas pimpinan fraksi menegur anggotanya. Kalau usulan ini baik untuk semua, ada baiknya kita coba,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Sabtu (24/7).
Menurut Priyo, keprihatinan akan buruknya tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat sudah muncul di kalangan pimpinan DPR sejak sebulan lalu. Bahkan, seluruh pimpinan DPR menandatangani surat yang dikirim melalui pimpinan fraksi, yang intinya meminta anggota untuk mengindahkan tingkat kehadiran di persidangan. Hal itu penting karena bisa memengaruhi citra DPR menjadi terpuruk.
Dalam surat itu juga disebutkan, Badan Kehormatan DPR diminta tak ragu-ragu mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan sanksi bagi anggota yang tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas. Selain itu, pimpinan DPR juga tengah mempertimbangkan kemungkinan mengurangi tunjangan kehormatan anggota DPR yang tidak menghadiri rapat tanpa alasan yang jelas.
”Bisa saja, misalnya, dibuat aturan, tunjangan kehormatan dipotong hingga 60 persen ketika mereka tidak menghadiri rapat tanpa alasan jelas dalam beberapa kali secara berturut-turut,” katanya.
Secara terpisah, Ketua DPR Marzuki Alie mengakui, sebagian anggota DPR masih menganggap tingkat kehadiran dalam rapat-rapat di DPR tidak penting. Belum banyak anggota yang menyadari bahwa tingkat kehadiran tersebut menunjukkan kualitas dan komitmen mereka dalam mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
”Saya setuju sekali jika tingkat kehadiran itu diumumkan kepada publik. Setidaknya ada sanksi moral bagi anggota yang malas,” katanya.
Meski demikian, menurut Marzuki, mengumumkan tingkat kehadiran anggota DPR tetap harus diputuskan bersama. ”Tidak bisa sebagai pimpinan saya memutuskan sendiri,” katanya.
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Nudirman Munir juga sepakat jika ketidakhadiran anggota DPR diumumkan kepada publik. Pengumuman itu bisa dilakukan setelah data kehadiran direkapitulasi dan dikonfirmasikan kepada ketua fraksi.
Usulan penggunaan teknologi dalam merekapitulasi data kehadiran anggota DPR, termasuk di antaranya kemungkinan menggunakan teknologi pemindai sidik jari, menurut Marzuki, sebenarnya sudah diakomodasi dalam tata tertib DPR, tetapi hal itu belum dilaksanakan. ”Kami berharap kesekjenan bisa segera menerapkan teknologi itu,” katanya.
Menurut Marzuki, penggunaan teknologi pemindai sidik jari sudah jamak ditemui di parlemen di luar negeri, antara lain di Turki dan Iran. Jika teknologi itu bisa diaplikasikan di ruang-ruang rapat DPR, waktu yang dibutuhkan untuk membuat laporan kehadiran anggota juga semakin singkat.
”Dengan cara itu, rapat bisa berjalan efektif. Anggota tidak bisa lagi absen lalu meninggalkan rapat sebelum rapat berakhir. Anggota juga tidak bisa lagi menitipkan kehadirannya kepada orang lain,” katanya.
Penerapan teknologi tersebut juga dinilai tidak mahal karena bisa saja memanfaatkan jaringan komputer yang tersedia. Pengadaan alat pemindai sidik jari tersebut diperkirakan juga hanya menghabiskan biaya dalam kisaran jutaan rupiah.
Pelecehan DPR
Desakan penggunaan teknologi itu, menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap DPR. Desakan publik ini muncul karena publik sudah tidak bisa memberikan toleransi lagi kepada anggota DPR yang malas.
”Sebenarnya ini bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap DPR karena sebagai orang yang dipercaya dan dipilih rakyat harus menggunakan fingerprint untuk menunjukkan kehadirannya,” katanya.
Priyo menyadari, penggunaan pemindai sidik jari sebenarnya tidak cocok diterapkan bagi anggota DPR. Anggota DPR pada dasarnya pemimpin yang dipilih rakyat dan tidak perlu diberlakukan absensi seperti pekerja kantoran.
Meski demikian, menurut Priyo, teknologi itu layak dicoba untuk memperbaiki kinerja DPR. ”Susah payah kami membangun citra DPR yang lebih baik. Usaha itu runtuh seketika gara-gara persoalan ketidakhadiran anggota DPR yang terus-menerus mengemuka,” katanya. (WHY)
Jakarta, Kompas - Sejumlah unsur pimpinan DPR dan Badan Kehormatan DPR setuju mengumumkan kepada publik tentang kinerja anggota DPR yang malas menghadiri rapat. Mereka juga menyetujui pemanfaatan teknologi pemindai sidik jari (fingerprint) deteksi kepastian kehadiran anggota dalam rapat-rapat resmi DPR.
Usulan mengumumkan absensi anggota DPR dan pemanfaatan pemindai sidik jari tersebut mengemuka di tengah keprihatinan publik akan banyaknya anggota DPR yang malas menghadiri rapat-rapat di DPR.
”Pimpinan Dewan sudah kehabisan akal untuk mencari cara menegur anggota DPR yang malas. Seharusnya itu tugas pimpinan fraksi menegur anggotanya. Kalau usulan ini baik untuk semua, ada baiknya kita coba,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Sabtu (24/7).
Menurut Priyo, keprihatinan akan buruknya tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat sudah muncul di kalangan pimpinan DPR sejak sebulan lalu. Bahkan, seluruh pimpinan DPR menandatangani surat yang dikirim melalui pimpinan fraksi, yang intinya meminta anggota untuk mengindahkan tingkat kehadiran di persidangan. Hal itu penting karena bisa memengaruhi citra DPR menjadi terpuruk.
Dalam surat itu juga disebutkan, Badan Kehormatan DPR diminta tak ragu-ragu mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan sanksi bagi anggota yang tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas. Selain itu, pimpinan DPR juga tengah mempertimbangkan kemungkinan mengurangi tunjangan kehormatan anggota DPR yang tidak menghadiri rapat tanpa alasan yang jelas.
”Bisa saja, misalnya, dibuat aturan, tunjangan kehormatan dipotong hingga 60 persen ketika mereka tidak menghadiri rapat tanpa alasan jelas dalam beberapa kali secara berturut-turut,” katanya.
Secara terpisah, Ketua DPR Marzuki Alie mengakui, sebagian anggota DPR masih menganggap tingkat kehadiran dalam rapat-rapat di DPR tidak penting. Belum banyak anggota yang menyadari bahwa tingkat kehadiran tersebut menunjukkan kualitas dan komitmen mereka dalam mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
”Saya setuju sekali jika tingkat kehadiran itu diumumkan kepada publik. Setidaknya ada sanksi moral bagi anggota yang malas,” katanya.
Meski demikian, menurut Marzuki, mengumumkan tingkat kehadiran anggota DPR tetap harus diputuskan bersama. ”Tidak bisa sebagai pimpinan saya memutuskan sendiri,” katanya.
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Nudirman Munir juga sepakat jika ketidakhadiran anggota DPR diumumkan kepada publik. Pengumuman itu bisa dilakukan setelah data kehadiran direkapitulasi dan dikonfirmasikan kepada ketua fraksi.
Usulan penggunaan teknologi dalam merekapitulasi data kehadiran anggota DPR, termasuk di antaranya kemungkinan menggunakan teknologi pemindai sidik jari, menurut Marzuki, sebenarnya sudah diakomodasi dalam tata tertib DPR, tetapi hal itu belum dilaksanakan. ”Kami berharap kesekjenan bisa segera menerapkan teknologi itu,” katanya.
Menurut Marzuki, penggunaan teknologi pemindai sidik jari sudah jamak ditemui di parlemen di luar negeri, antara lain di Turki dan Iran. Jika teknologi itu bisa diaplikasikan di ruang-ruang rapat DPR, waktu yang dibutuhkan untuk membuat laporan kehadiran anggota juga semakin singkat.
”Dengan cara itu, rapat bisa berjalan efektif. Anggota tidak bisa lagi absen lalu meninggalkan rapat sebelum rapat berakhir. Anggota juga tidak bisa lagi menitipkan kehadirannya kepada orang lain,” katanya.
Penerapan teknologi tersebut juga dinilai tidak mahal karena bisa saja memanfaatkan jaringan komputer yang tersedia. Pengadaan alat pemindai sidik jari tersebut diperkirakan juga hanya menghabiskan biaya dalam kisaran jutaan rupiah.
Pelecehan DPR
Desakan penggunaan teknologi itu, menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap DPR. Desakan publik ini muncul karena publik sudah tidak bisa memberikan toleransi lagi kepada anggota DPR yang malas.
”Sebenarnya ini bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap DPR karena sebagai orang yang dipercaya dan dipilih rakyat harus menggunakan fingerprint untuk menunjukkan kehadirannya,” katanya.
Priyo menyadari, penggunaan pemindai sidik jari sebenarnya tidak cocok diterapkan bagi anggota DPR. Anggota DPR pada dasarnya pemimpin yang dipilih rakyat dan tidak perlu diberlakukan absensi seperti pekerja kantoran.
Meski demikian, menurut Priyo, teknologi itu layak dicoba untuk memperbaiki kinerja DPR. ”Susah payah kami membangun citra DPR yang lebih baik. Usaha itu runtuh seketika gara-gara persoalan ketidakhadiran anggota DPR yang terus-menerus mengemuka,” katanya. (WHY)
ATASI KASUS BOLOS Presensi Anggota DPR Pakai 'Finger Print'
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Jumat, 23 Juli 2010 | 16:43 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pimpinan DPR meminta Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) untuk mempersiapkan perangkat presensi atau kehadiran yang bisa "memaksa" anggota Dewan untuk hadir dalam rapat-rapat di Gedung Dewan.
Selama ini, para anggota hanya diharuskan membubuhkan tanda tangan, yang terkadang diwakili oleh stafnya. Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengatakan, ke depan, anggota Dewan akan diabsen dengan menggunakan sidik jari alias finger print. "Kami sudah memerintahkan Kesekjenan dan BURT untuk siapkan absen finger print, sidik jari, biar ketahuan yang bolos," kata Priyo, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (23/7/2010).
Jika memang ada anggota yang berhalangan, ia mengimbau agar mengajukan izin. "Kesatria saja izin, jika memang berhalangan. Sekarang sudah sangat memprihatinkan dan kami ingatkan seluruh anggota untuk menjaga nilai dan kehormatan Dewan," ujarnya.
Priyo khawatir, perilaku membolos para anggota Dewan yang terekam media akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap para wakilnya. Tak hanya mengikat dengan daftar presensi sidik jari, ia juga mengapresiasi usulan pemotongan uang kehormatan dan kehadiran bagi anggota yang bolos.
"Kalau uang kehormatan dipotong sebesar berapa kali membolos, ini ide yang menarik. Membolos berapa persen kemudian dipotong uang kehadiran. Bisa juga seperti itu. Nanti coba akan dirumuskan," ujar Priyo.
Pemkab Jayapura Absensi Pegawai Lewat Radio
Liputan 6 - Sabtu, 24 Juli
Liputan6.com, Sentani: Pemerintah Kabupaten Jayapura, Papua, memberlakukan absensi bagi Pegawai Negeri Sipil atau PNS yang bertugas di tingkat distrik, kelurahan, dan kampung melalui radio PTT (push to talk). "Kami terus menjalankan absensi baik bagi pegawai yang ada di kantor bupati maupun di distrik dan kampung melalui alat komunikasi radio," kata Asisten III Sekda Kabupaten Jayapura Buce D Batkorumbawa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (24/7).
Buce menambahkan, setiap hari kerja, absensi dijalankan selama empat kali bagi pegawai yang ada di kantor bupati. Pertama, dilakukan sebelum apel pagi pada pukul 07.30 WIT, absen kedua pukul 11.00 WIT, ketiga pukul 13.00 WIT, dan absensi keempat pukul 13.00 WIT sebelum apel siang dengan menggunakan absen digital.
Begitupula bagi pegawai di tingkat distrik, kampung, serta kelurahan. Mereka diabsen lewat radio PTT pada jam yang sama dan dilaporkan kepala distrik berapa stafnya yang hadir, sakit, izin dan tanpa keterangan. Dengan memberlakukan absensi seperti itu, semua pegawai lingkungan Pemkab Jayapura bisa terpantau aktivitasnya dan bisa ketahuan yang malas serta suka alpa.
Menurut Buce, pemberlakukan apel pagi, siang, serta absensi bukan semata-mata untuk mengecek kehadiran pegawai. Namun, tolak ukur dalam memberikan kredit poin kepada seluruh pegawai sampai di tingkat distrik. "Bagi pegawai yang malas, akan diberikan sanksi berupa penundaan pemberian gaji dan tunjangan lainnya. Dan itu sudah diingatkan setiap hari," ucap Buce.
Karena, ujar Buce, PNS diangkat dan digaji negara sebagai kepanjangan tangan pemerintah di daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dimanapun berada. Untuk itu, pihaknya memberlakukan absensi cukup ketat untuk meningkatkan displin pegawai dalam menjalankan tugas.
Sekadar informasi, Kabupaten Jayapura terdiri atas 19 distrik 193 kampung dan lima kelurahan. Sebelah timur berbatasan dengan Kota Jayapura, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Keerom, dan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sarmi.(BOG/Ant)
Liputan6.com, Sentani: Pemerintah Kabupaten Jayapura, Papua, memberlakukan absensi bagi Pegawai Negeri Sipil atau PNS yang bertugas di tingkat distrik, kelurahan, dan kampung melalui radio PTT (push to talk). "Kami terus menjalankan absensi baik bagi pegawai yang ada di kantor bupati maupun di distrik dan kampung melalui alat komunikasi radio," kata Asisten III Sekda Kabupaten Jayapura Buce D Batkorumbawa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (24/7).
Buce menambahkan, setiap hari kerja, absensi dijalankan selama empat kali bagi pegawai yang ada di kantor bupati. Pertama, dilakukan sebelum apel pagi pada pukul 07.30 WIT, absen kedua pukul 11.00 WIT, ketiga pukul 13.00 WIT, dan absensi keempat pukul 13.00 WIT sebelum apel siang dengan menggunakan absen digital.
Begitupula bagi pegawai di tingkat distrik, kampung, serta kelurahan. Mereka diabsen lewat radio PTT pada jam yang sama dan dilaporkan kepala distrik berapa stafnya yang hadir, sakit, izin dan tanpa keterangan. Dengan memberlakukan absensi seperti itu, semua pegawai lingkungan Pemkab Jayapura bisa terpantau aktivitasnya dan bisa ketahuan yang malas serta suka alpa.
Menurut Buce, pemberlakukan apel pagi, siang, serta absensi bukan semata-mata untuk mengecek kehadiran pegawai. Namun, tolak ukur dalam memberikan kredit poin kepada seluruh pegawai sampai di tingkat distrik. "Bagi pegawai yang malas, akan diberikan sanksi berupa penundaan pemberian gaji dan tunjangan lainnya. Dan itu sudah diingatkan setiap hari," ucap Buce.
Karena, ujar Buce, PNS diangkat dan digaji negara sebagai kepanjangan tangan pemerintah di daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dimanapun berada. Untuk itu, pihaknya memberlakukan absensi cukup ketat untuk meningkatkan displin pegawai dalam menjalankan tugas.
Sekadar informasi, Kabupaten Jayapura terdiri atas 19 distrik 193 kampung dan lima kelurahan. Sebelah timur berbatasan dengan Kota Jayapura, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Keerom, dan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sarmi.(BOG/Ant)
Banyak Bolos, DPR Pakai Pemindai Sidik Jari
Banyak Bolos, DPR Pakai Pemindai Sidik Jari
"Citra dewan bisa rontok kalau bolos menjadi tradisi," ujar Priyo, Wakil Ketua DPR.
Jum'at, 23 Juli 2010, 15:09 WIB
Arfi Bambani Amri, Anggi Kusumadewi
Suasana Rapat Paripurna DPR yang lengang (Antara/ Ismar Patrizki)
VIVAnews - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso mengungkapkan, pimpinan DPR mengusulkan penerapan sistem presensi menggunakan mesin pemindai sidik jari. Langkah ini ditempuh karena tingkat kehadiran anggota Dewan di rapat-rapat terus merosot.
"Bukan niat kami membuat anggota DPR seperti karyawan kantoran. Tapi citra dewan bisa rontok kalau bolos menjadi tradisi," ujar Priyo di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat 23 Juli 2010. Ia menyatakan, pimpinan DPR telah memerintahkan Sekjen DPR untuk mengkaji dan menyiapkan sistem pemindai sidik jadi tersebut.
Menurutnya, kelima pimpinan DPR sudah merasa jengah dan getir dengan isu kemalasan anggota dewan yang tak juga pudar dari tahun-tahun. Isu tersebut bahkan dibahas di Rapat Pimpinan DPR.
Dari rapat itulah muncul ide untuk menerapkan sistem pemindai sidik jari. Pimpinan dewan pun telah mengirimkan surat peringatan ke seluruh fraksi DPR untuk memperketat pengawasan mereka terhadap absensi dan kinerja anggotanya.
"Surat itu sampai kami teken berlima untuk menunjukkan keseriusan kami. Padahal biasanya surat pimpinan cukup diteken satu orang pimpinan saja," tutur Priyo yang juga Ketua Partai Golkar itu.
Pimpinan dewan pun meminta Badan Kehormatan (BK) untuk mengambil langkah-langkah proaktif untuk menangani anggota dewan yang sering membolos. "Harus ada hukum disiplin bagi anggota yang membolos di luar kewajaran, lebih dari dua kali," ujarnya.
"Kami ingatkan agar seluruh anggota DPR terus menjaga kehormatan dewan," kata Priyo. Ia khawatir, bila isu membolos ini tidak ditanggapi anggota dewan dengan serius, maka masyarakat akan menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR. "Itu bisa jadi kiamat bagi kami." (hs)
• VIVAnews
Ah, RSBI Salah Kaprah!
Internasionalisasi Pendidikan
Ah, RSBI Salah Kaprah!
Rabu, 21 Juli 2010 | 10:24 WIB
HERU SRI KUMORO/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Peneliti ahli bahasa Indonesia di Kementerian Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, mengingatkan bahwa RSBI bukan sekadar mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris sebagai pengantar di kelas.
JAKARTA, KOMPAS.com — Sekolah-sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dinilai salah kaprah dalam mengartikan internasionalisasi pendidikan. Internasionalisasi diartikan dengan menggantikan bahasa pengantar bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris.
Mestinya, sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional, bukan mengesampingkan bahasa Indonesia.
-- Agus Dharma
"Padahal, mestinya, sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional, bukan mengesampingkan bahasa Indonesia," kata Wakil Kepala Sementara Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Agus Dharma dalam seminar "Tantangan Bahasa Indonesia pada Era Pasar Bebas" yang diselenggarakan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Selasa (20/7/2010) di Jakarta.
Menurut Agus, tujuan internasionalisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan daya saing siswa di kancah internasional. Jika bahasa Indonesia yang dikesampingkan, siswa akan kehilangan jati diri sekaligus tidak mampu merebut kualitas internasional.
Peneliti ahli bahasa Indonesia di Kementerian Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, mengingatkan bahwa RSBI bukan sekadar mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris sebagai pengantar di kelas. "Justru seharusnya anak Indonesia bisa multilingual, yakni menguasai bahasa ibu atau bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa asing," ujarnya.
Dendy mengatakan, sesuai dengan teori linguistik, jika suatu bahasa tidak lagi digunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa itu dipastikan akan hilang.
"Kalau semua sekolah pakai bahasa Inggris, siapa yang menjaga bahasa Indonesia? Maka, kepunahan bahasa Indonesia tinggal tunggu waktu saja," ujarnya. (LUK/CHE/BRO)
RSBI
RSBI Hilangkan Nasionalisme Siswa
Kamis, 22 Juli 2010 | 09:47 WIB
shutterstock
Ilustrasi: Sangat disayangkan pembelajaran di Tanah Air berkiblat ke barat, padahal seharusnya lebih mengedepankan potensi negara dalam kurikulum nasional.
MALANG, KOMPAS.com — Usaha pemerintah membentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di sekolah-sekolah negeri dikritik keras dalam sarasehan nasional di Universitas Negeri Malang (UNM) di Malang, Jawa Timur, Rabu (21/7/2010). Beberapa pembicara mengungkapkan, konsep RSBI malah jadi salah satu penyebab siswa tak lagi lekat dengan nilai-nilai Pancasila.
Tak masalah kalau pakai bahasa Inggris di sekolah, tetapi jangan adopsi kurikulum luar. Akibatnya, ajaran Pancasila lama-lama hilang.
-- Sri Edi Swasono
Salah satu penyebab tersebut diungkapkan oleh ekonom Sri Edi Swasono. "Tidak masalah kalau kita mau pakai bahasa Inggris di sekolah, tetapi jangan adopsi kurikulum luar untuk sekolah kita. Akibatnya, ajaran Pancasila lama-lama hilang," tutur Edi.
Edi sangat menyayangkan pembelajaran di Tanah Air berkiblat ke Barat. Padahal, seharusnya lebih mengedepankan potensi negara dalam kurikulum nasional.
"Coba, kita punya laut, mengapa oseanografi tidak diajarkan. Kita punya hutan, kenapa ilmu kehutanan tidak jadi pembelajaran," ujarnya mengkritik.
Rektor Universitas Wisnuwardhana Suko Wiyono pun menganggap konsep RSBI tidak efektif. "RSBI hanya mengubah cara menyampaikan pelajaran dengan bahasa Inggris. Yang menyedihkan, kemampuan bahasa Inggris guru tidak lebih baik dari siswanya," kata Suko. (nab)
Ah, RSBI Salah Kaprah!
Rabu, 21 Juli 2010 | 10:24 WIB
HERU SRI KUMORO/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Peneliti ahli bahasa Indonesia di Kementerian Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, mengingatkan bahwa RSBI bukan sekadar mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris sebagai pengantar di kelas.
JAKARTA, KOMPAS.com — Sekolah-sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dinilai salah kaprah dalam mengartikan internasionalisasi pendidikan. Internasionalisasi diartikan dengan menggantikan bahasa pengantar bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris.
Mestinya, sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional, bukan mengesampingkan bahasa Indonesia.
-- Agus Dharma
"Padahal, mestinya, sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional, bukan mengesampingkan bahasa Indonesia," kata Wakil Kepala Sementara Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Agus Dharma dalam seminar "Tantangan Bahasa Indonesia pada Era Pasar Bebas" yang diselenggarakan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Selasa (20/7/2010) di Jakarta.
Menurut Agus, tujuan internasionalisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan daya saing siswa di kancah internasional. Jika bahasa Indonesia yang dikesampingkan, siswa akan kehilangan jati diri sekaligus tidak mampu merebut kualitas internasional.
Peneliti ahli bahasa Indonesia di Kementerian Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, mengingatkan bahwa RSBI bukan sekadar mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris sebagai pengantar di kelas. "Justru seharusnya anak Indonesia bisa multilingual, yakni menguasai bahasa ibu atau bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa asing," ujarnya.
Dendy mengatakan, sesuai dengan teori linguistik, jika suatu bahasa tidak lagi digunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa itu dipastikan akan hilang.
"Kalau semua sekolah pakai bahasa Inggris, siapa yang menjaga bahasa Indonesia? Maka, kepunahan bahasa Indonesia tinggal tunggu waktu saja," ujarnya. (LUK/CHE/BRO)
RSBI
RSBI Hilangkan Nasionalisme Siswa
Kamis, 22 Juli 2010 | 09:47 WIB
shutterstock
Ilustrasi: Sangat disayangkan pembelajaran di Tanah Air berkiblat ke barat, padahal seharusnya lebih mengedepankan potensi negara dalam kurikulum nasional.
MALANG, KOMPAS.com — Usaha pemerintah membentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di sekolah-sekolah negeri dikritik keras dalam sarasehan nasional di Universitas Negeri Malang (UNM) di Malang, Jawa Timur, Rabu (21/7/2010). Beberapa pembicara mengungkapkan, konsep RSBI malah jadi salah satu penyebab siswa tak lagi lekat dengan nilai-nilai Pancasila.
Tak masalah kalau pakai bahasa Inggris di sekolah, tetapi jangan adopsi kurikulum luar. Akibatnya, ajaran Pancasila lama-lama hilang.
-- Sri Edi Swasono
Salah satu penyebab tersebut diungkapkan oleh ekonom Sri Edi Swasono. "Tidak masalah kalau kita mau pakai bahasa Inggris di sekolah, tetapi jangan adopsi kurikulum luar untuk sekolah kita. Akibatnya, ajaran Pancasila lama-lama hilang," tutur Edi.
Edi sangat menyayangkan pembelajaran di Tanah Air berkiblat ke Barat. Padahal, seharusnya lebih mengedepankan potensi negara dalam kurikulum nasional.
"Coba, kita punya laut, mengapa oseanografi tidak diajarkan. Kita punya hutan, kenapa ilmu kehutanan tidak jadi pembelajaran," ujarnya mengkritik.
Rektor Universitas Wisnuwardhana Suko Wiyono pun menganggap konsep RSBI tidak efektif. "RSBI hanya mengubah cara menyampaikan pelajaran dengan bahasa Inggris. Yang menyedihkan, kemampuan bahasa Inggris guru tidak lebih baik dari siswanya," kata Suko. (nab)
Kamis, 22 Juli 2010
Siswa Bermasalah Perlu Cuti?
Kebijakan Sekolah
Siswa Bermasalah Perlu Cuti?
Selasa, 20 Juli 2010 | 16:23 WIB
Ilustrasi: Kebijakan cuti merupakan pola pembinaan atas dasar kesepakatan bersama antara sekolah dan orang tua siswa apabila siswa bermasalah sudah tak bisa lagi dibina para guru yang berupa peringatan hingga tiga kali berturut-turut.
MATARAM, KOMPAS.com - Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Mataram, Nusa Tenggara Barat, memberlakukan sistem cuti bagi siswa yang dianggap bermasalah oleh pihak sekolah. Selama ini cara tersebut dinilai pihak sekolah sebagai upaya efektif menurunkan angka putus sekolah.
Kita tidak mau menerapkan kebijakan memberhentikan siswa bermasalah, karena itu kurang baik dari sisi kemanusiaan.
-- Faisyal
Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Mataram Faisyal di Mataram, Selasa (20/7/2010), mengatakan, kebijakan memberikan hak cuti bagi siswa bermasalah sudah diterapkan sejak lama dan efektif mengubah perilaku siswa yang dianggap kurang baik.
"Kita tidak mau menerapkan kebijakan memberhentikan siswa bermasalah, karena itu kurang baik dari sisi kemanusiaan," katanya.
Menurut dia, kebijakan cuti merupakan pola pembinaan yang diberlakukan atas dasar kesepakatan bersama antara sekolah dan orang tua siswa. Cuti diberikan apabila siswa bermasalah sudah tidak bisa lagi dibina oleh para guru yang ada di sekolah berupa peringatan hingga tiga kali berturut-turut.
"Kalau sudah kita beri peringatan sampai tiga kali, baru kita panggil orang tuanya untuk diberikan solusi cuti. Nanti kalau memang sudah mau berubah, sekolah siap menerima kembali," katanya.
Dia menambahkan, batasan cuti yang diberikan maksimal satu tahun agar siswa tersebut tidak terlalu lama meninggalkan bangku sekolah. Hal itu dikhawatirkan siswa tidak mampu menangkap pelajaran seiring usianya yang terus bertambah.
Berpikir positif
Faisyal mengakui, setiap tahun ada siswa yang mengambil cuti karena memiliki masalah, baik dengan keluarga atau masalah lain, sehingga terbawa di lingkungan sekolah. Kondisi itu terkadang membuat siswa melanggar aturan yang telah diterapkan di sekolah.
"Pertimbangannya adalah potensi perubahan yang akan terjadi pada diri siswa. Kita berikan cuti karena kita berpikir positif saja, bahwa manusia itu tidak selamanya berkelakuan buruk. Pasti ada niat untuk mau berubah," katanya.
Faisal mencontohkan, jika ada siswa yang terkena kasus narkoba akan diberikan hak cuti untuk mendapatkan pembinaan, terutama dari sisi keagamaan. Hal itu akan efektif dilakukan oleh orang tua di rumah sendiri dan melibatkan tokoh agama.
"Biasanya penanaman keagamaan yang kurang, sehingga siswa bisa dengan mudah dimasuki oleh pengaruh-pengaruh negatif, termasuk pengaruh narkoba. Tapi, untuk kasus ini di sekolah kami tidak ada," katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)