Oleh Kusmayanto Kadiman
Hampir saban hari dalam tiga pekan terakhir kita baca, dengar, dan lihat kesemrawutan pengelolaan moda transportasi laut, baik untuk barang, kendaraan, maupun orang dari Bakauheni, Sumatera, ke Merak, Jawa, dan sebaliknya.
Kurangnya jumlah kapal feri sebagai satu-satunya wahana penyeberang Jawa-Sumatera ditengarai jadi kambing paling hitam. Monopoli yang diberi pemerintah kepada BUMN Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan untuk pengangkutan orang, barang, dan kendaraan dari Bakauheni ke Merak mulai digugat. Sempat terpicu rumor, antrean panjang itu bagian dari rekayasa sosial memuluskan megaproyek Jembatan Selat Sunda (JSS).
Dari tinjauan lain, pengelolaan moda transportasi penyeberangan laut ini berhasil jadi perangkap yang bikin kita rabun membaca cakupan masalah dan tantangan lebih besar. Tengoklah pernyataan Menteri Perhubungan bahwa kemampuan layan Pelabuhan Bakauheni dan Pelabuhan Merak terkendala oleh sangat minimnya infrastruktur, seperti pemecah ombak, dan belum dipenuhinya sederet persyaratan yang ditetapkan International Maritime Organization untuk keselamatan dan keamanan pengoperasian pelabuhan-pelabuhan.
Simak pula propaganda Menteri Koordinator Perekonomian melalui pengumuman megaproyek infrastruktur, khususnya pembangunan JSS, yang tentu menimbulkan semakin besarnya ketidakpastian pada upaya pembenahan dan investasi jangka panjang moda transportasi penyeberangan laut, baik oleh BUMN maupun swasta, melalui program strategis kemitraan pemerintah dengan swasta.
Moda majemuk
Sejak rencana-rencana jangka panjang zaman Orde Baru, kita selalu menemukan rencana pembangunan transportasi dengan pendekatan moda majemuk yang menyeimbangkan pembangunan dengan utilisasi transportasi moda udara, laut, sungai, danau, serta penyeberangan, jalan, dan kereta api.
Garuda sebagai BUMN bukan satu-satunya maskapai layanan transportasi udara. Deregulasi telah dilakukan pemerintah untuk menumbuhkan iklim kompetisi yang memicu tumbuhnya bisnis layanan angkutan udara. Monopoli pengelolaan bandara yang semula hanya diberikan kepada BUMN Angkasa Pura 1 dan 2 telah dibongkar. Pengelolaan bandara dapat dikelola BUMD dan swasta dengan semangat kompetisi dan kemitraan pemerintah-swasta.
Hal serupa terjadi dalam moda transportasi lain, seperti jalan berbayar dan angkutan laut. Kita sudah mendengar wacana pencabutan transportasi moda kereta api dan kereta listrik. Kini mulai pula digugat monopoli yang pemerintah berikan bagi pengelolaan moda angkutan sungai, danau, dan penyeberangan.
Wacana dalam bentuk sangat sederhana telah diujicobakan. Penumpang dari Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, dapat membeli karcis terusan bandara ke Bandung menggunakan bus Damri ke Stasiun Gambir untuk kemudian ke Stasiun Kebon Kawung di Bandung.
Dalam bentuk ideal, seseorang dapat sesuai dengan pilihan intra-moda yang tersedia membeli karcis terusan untuk berangkat dari Bandara Merauke menuju Sabang dengan dua faktor utama: keselamatan dan keamanan. Inilah realisasi sejati konsep transportasi moda majemuk sekaligus manifesto amanah sila kelima Pancasila: pemerintah wajib sediakan berbagai pilihan, rakyat leluasa memilih sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.
Sejak kemerdekaan, Pemerintah Indonesia gigih berjuang memosisikan Nusantara—hanya sebagian kecil daratan, mayoritas selat dan laut—sebagai suatu keutuhan. Perjuangan panjang ini akhirnya direstui PBB dengan satu syarat, Indonesia wajib mengizinkan beberapa selat dan lautnya sebagai jalur transportasi laut internasional.
Perjuangan panjang ini kemudian diabadikan sebagai Deklarasi Djuanda. Kini setiap gagasan menghubungkan satu pulau dengan pulau lain wajib memperhitungkan komitmen Indonesia dalam penyediaan alur transportasi laut internasional.
Jembatan Selat Sunda
Laut pemisah Sumatera dengan Malaysia dan Singapura, Selat Sunda, serta Selat Bali-Lombok adalah tiga contoh alur transportasi laut yang menjadi kesepakatan Indonesia dalam Deklarasi Djuanda. Bagaimana pengaruh sosiopolitik Deklarasi Djuanda pada konsep pembangunan jembatan penghubung pulau-pulau besar di Indonesia?
Dominasi jalan dan kendaraan telah memaksa pemerintah sejak Orde Baru memenuhi desakan agar kendaraan bebas melintas dan menyeberang dari satu ke sentra ekonomi lainnya. Tiga megaproyek digagas: Jembatan Jawa-Bali (JJB), Jembatan Jawa-Madura (JJM), dan JSS.
Sambil belajar membangun kompetensi anak negeri dalam teknologi konstruksi jembatan superlebar dan superpanjang, pemerintah berinisiatif membangun berbagai jenis jembatan penghubung tiga pulau besar di Kepulauan Riau: Batam, Rempang, dan Galang. Telah dipilih dan dibangun dengan sukses enam macam jembatan dari berbagai teknologi: pra-tekan, busur, sampai kabel-gantung.
Dari sudut pamer teknologi, keenam jembatan sukses menyatudaratkan Batam, Rempang, dan Galang (Barelang). Jika dipandang sebagai lokomotif pertumbuhan, keenam jembatan Barelang jauh panggang dari api. Dari sudut tinjau sosial, kita tidak mendengar gejolak sosial yang menentang keenam jembatan Barelang sebab Rempang dan Galang nyaris tidak berpenduduk. Tak begitu dengan JJM. Hingga kini kita mendengar keluhan sosioekonomi dan sosiopolitik yang jadi PR pemerintah.
Contoh ekstrem dari gagasan membangun megaproyek jembatan adalah JJB. Kalangan akademi, bisnis, dan pemerintah yakin betul bahwa jembatan ini laik dan layak dari perspektif teknoekonomi. Namun, tentangan ekstrakeras muncul dari sudut pandang sosiopolitik. Akibatnya, gagasan membangun JJB masuk angin, bahkan masuk kotak. Bagaimana dengan JSS?
Pada mulanya akademikus memunculkan beberapa pilihan menghubungkan moda transportasi darat (jalan dan kereta api) Sumatera dengan Jawa: terowongan bawah laut, terowongan semiterapung, dan jembatan kabel gantung. Tentu masing-masing unjuk superioritasnya dari sudut teknoekonomi dan sosiopolitik. Akhirnya, pemerintah berketetapan: kabel gantung ultrapanjang jadi pilihan.
Disadari betul, pilihan ini melawan pakem Indonesia mengadopsi teknologi: haram hukumnya bagi pemerintah mengadopsi teknologi yang belum terbukti memiliki tingkat keselamatan dan keamanan. Sampai kini jembatan kabel gantung terpanjang yang telah teruji adalah Jembatan Akashi-Kaikyo, Jepang. Jembatan Messina, Italia, yang sejenis ini urung dibangun akibat terkendala isu sosiopolitik.
Dari kajian teknoekonomi, JSS belum dinyatakan laik dan layak. Salah satu tantangan besar adalah membiarkan konsep moda transportasi majemuk digugurkan oleh moda tunggal: moda transportasi darat (kendaraan bermotor dan kereta api). Membiarkan semua transportasi di Sumatera dan di Jawa dibangun dan tumbuh menjadi moda tunggal dengan satu tujuan: menjadikan JSS layak dan laik!
Kusmayanto Kadiman Menristek (2004-2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar