Rabu, 09 Maret 2011
Ironi Koalisi dan Perombakan Kabinet
Dari satu kontradiksi ke kontradiksi lain, dan mungkin akan berakhir dengan pepesan kosong. Itulah yang mungkin terjadi dalam wacana tentang koalisi dan perombakan kabinet belakangan ini.
Kontradiksi ini mulai terlihat saat Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie menyatakan partainya tetap berada di koalisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pernyataan ini disampaikan Aburizal setelah bertemu Yudhoyono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (8/3).
Meski sudah diduga sebelumnya, pernyataan Aburizal itu seperti antiklimaks dari peringatan Presiden Yudhoyono, Selasa pekan lalu di Istana Kepresidenan. Saat itu, seusai rapat kabinet, Presiden menyatakan, ada satu-dua partai koalisi yang melanggar kesepakatan.
Setelah menyampaikan pernyataan itu, Presiden Yudhoyono memanggil sejumlah petinggi partai koalisi pemerintahannya, seperti Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, ke Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu pekan lalu. Hingga saat ini, diduga hanya petinggi Partai Keadilan Sejahtera yang belum bertemu Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan.
Langkah Presiden yang membicarakan koalisi dan memanggil para peringgi partai koalisi ke Istana Kepresidenan, menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, berlebihan. Ini karena koalisi merupakan masalah internal Yudhoyono dan partai pendukungnya serta tidak terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.
”Dengan membicarakan koalisi di Istana, seolah masalah itu telah menjadi urusan resmi kenegaraan. Seharusnya Presiden cukup membicarakan masalah intern seperti koalisi di tempat lain, seperti rumah pribadinya di Cikeas,” kata Pramono.
Pramono berharap polemik seputar koalisi dan perombakan kabinet segera diakhiri dan pemerintah kembali serius bekerja menyelesaikan berbagai persoalan rakyat dan negara.
Polemik tentang koalisi dan perombakan kabinet memang telah menjadi berita utama sejumlah media selama dua minggu terakhir, persisnya sejak pemungutan suara pembentukan Panitia Khusus Angket DPR untuk Mafia Pajak pada 22 Februari 2011. Wacana itu bahkan beberapa kali menggeser sejumlah isu lain yang sebenarnya jauh lebih penting dan terkait dengan kehidupan masyarakat, seperti pemberantasan mafia hukum dan mafia pajak, ancaman ekonomi akibat kenaikan harga minyak dunia, dan perang saudara seperti yang terjadi di Libya.
Agus Sudibyo dari Dewan Pers menilai derasnya berita tentang koalisi belakangan ini merupakan infiltrasi urusan privat di ruang publik. ”Koalisi dan perombakan kabinet memang penting dan menarik. Namun, masalah itu sebenarnya lebih merupakan urusan internal partai politik hingga pemberitaannya tidak terlalu berlebihan. Ada banyak masalah lain yang perlu dibahas di ruang publik,” kata Agus.
Yudi Latif dari Reform Institute menduga, gencarnya polemik dan manuver sejumlah elite politik dalam wacana perombakan kabinet dan koalisi belakangan ini merupakan upaya untuk mengalihkan perhatian atas sejumlah isu sensitif yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.
”Intensi dari wacana perombakan kabinet juga bukan untuk mendepak partai tertentu dari koalisi, namun memperluas kerangka koalisi dengan menambah partai lain sebagai anggota. Jika kerangka koalisi ditambah, sedangkan jumlah kursi di kabinet tetap, akan memunculkan ketegangan di intern partai politik,” papar Yudi.
Ketegangan ini sudah terlihat, seperti di seputar polemik apakah PDI Perjuangan dan Gerindra akan masuk kabinet serta bagaimana dengan jumlah kursi Golkar dan PKS di kabinet.
Ketegangan internal partai ini, lanjut Yudi, akhirnya melebarkan dan mengalihkan perhatian publik dari sejumlah masalah publik yang sebenarnya lebih aktual bagi masyarakat.
Pada saat yang sama, langkah Presiden Yudhoyono dari Partai Demokrat yang mengaitkan perombakan kabinet dengan koalisi merupakan kesalahan fatal dalam sistem pemerintahan presidensial.
”Dalam sistem presidensial, pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif presiden. Dasar presiden merombak kabinet seharusnya kinerja menteri dan bukan loyalitas partai. Saat jabatan menteri dikaitkan dengan koalisi, itu merupakan ciri sistem parlementer,” kata Yudi.
Yang pasti, mengaitkan jabatan menteri dengan koalisi menunjukkan bahwa praktik politik Indonesia masih sebatas jual beli kekuasaan yang melibatkan sejumlah elite politik.
Dalam praktik jual beli ini, seorang petinggi Partai Demokrat yang beberapa kali meminta Golkar dan PKS keluar dari koalisi berkomentar, ”Saya malu jika Presiden Yudhoyono tetap mempertahankan dua partai itu di koalisi. Harga diri Partai Demokrat akan hancur, dan orang tidak akan lagi menghargai kami.” (NWO)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar