Saya pernah, kamu pernah, semua pernah terpuruk. Reaksi orang akan berbeda-beda menerima kenyataan yang dia hadapi dan orang-orang sekelilingnya yang ketika mereka berhadapan untuk memberikan dukungan atau mendengarkan cerita.
Buat saya, ketika saya sedang terpuruk, sedih, ataupun putus asa, yang saya perlukan adalah didengarkan. Saya pikir, orang lain pun begitu. Cukup mendengarkan saja. Saya menghindari elusan punggung, remasan tangan, bahkan kalimat, "sabar, ya." Ketika seseorang bercerita, bahkan sesunggukkan nangis di hadapan saya.
Bahasa tubuh saya pun turut bertutur ketika mendengarkan curhatan seseorang. Saya akan menghindari tangan sedekap, menopang dagu, mengetuk-ngetuk jari ke meja atau kemanapun. Menyilangkan kaki pun saya hindari. Tubuh saya akan berbahasa tangan terbuka, condong ke arah pencurhat, dan jemari saya akan bermain ketika saya merasa geram, takut, atau terkejut. Biasanya saya lakukan adalah mengepal, membentuk bersilang seperti sedang berdoa, atau menutup mulut ketika terkejut. Yang penting saya menghindari kontak fisik dengan si pencurhat, sampai ia mendekatkan diri kepada saya.
Kenapa? Buat saya pribadi, mengelus pundak atau punggung sebagai bahasa tubuh itu berarti "aduh kasihan kamu", dan meremas tangan tidak lain dari "thanks God bukan gue yang kayak gitu", atau tiba-tiba memeluk adalah bentuk "ya ampun! Nasibmu."
Bukan, bukan itu yang mereka mau. Lain soal kalau saya dan dia sedang makan siang bersama, lalu telponnya berdering mengabarkan sanak keluarga dekatnya meninggal. Pelukan adalah hal yang mereka perlukan.
Ini adalah ketika mereka berbicara tentang masalah mereka yang telah lalu namun belum juga terselesaikan, atau saya dalam posisi baru tahu bahwa sahabat saya telah bercerai dengan suaminya 2 tahun ini. Apalah saya harus melakukan physical attraction kepada sahabat yang ternyata memendam keterpurukannya, sampai dia meminta untuk disentuh.
Satu lagi yang saya hindari ketika mereka bercerita tentang keterpurukannya adalah berkata "sabar ya.." [apalagi embel-embel "orang sabar sayang Tuhan", kayaknya engga banget ya]. Alasan saya adalah, bahwa saya tau dengan kondisi dia seperti itu, kurang sabar apalagi dia sebagai manusia. Buat saya, tidak lebih dari kalimat, "sorry to hear your story, life is that hard to you, but, life should continue, rite?" membawa aura positif dan semangat buat sahabat [bahkan saya juga!] ketika mereka [saya] dalam keterpurukan.
Hindari memberi saran kecuali diminta. Itupun saran yang tidak memihak. Semisal, sahabat saya yang bingung apakah harus menceraikan suaminya karena dia menjadi breadwinner. Tentunya saya tidak semena-mena karena dia perempuan maka saya bilang "cerein aja, laki2 kok gitu." Tidak, tetapi saya mengembalikan kepada dia, "dulu lo nikahin dia gimana, tau kondisi dia kayak gini kan, ada exit strategi yg pernah dipikirkan atau kasih waktu smp kapan dia mau berubah atau tidak?" Sependek pengalaman saya untuk kasus seperti ini, mereka berpikir ulang, "napa dulu mau nikahin ni orang ya?" dan biasanya mereka punya rencana sendiri yang akhirnya syukur Alhamdulillah berhasil.
Kalimat saran [yg diminta] lainnya adalah, "dulu lo coba...".. nah, jangan deh. Tambah nyesel, tambah terpuruk nanti yang minta nasihat kepada kita.
If I'm in a slump, I ask myself for advice.
Ichiro Suzuki [atlet baseball]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar