Kamis, 22 April 2010 09:20:23
Membincangkan perihal membaca dan menulis mestinya penting untuk para guru, keduanya menjadi bagian penting dalam pekerjaan guru. “Kapan punya waktu untuk membaca dan menulis?” pertanyaan itu acap mengemuka dalam berbagai forum guru.
Tentu saja, pertanyaan demikian tidak luput dari situasi guru yang bergelut dengan persiapan mengajar dan mengoreksi pekerjaan siswa, di luar waktu mengajar di depan kelas. Pertanyaan tersebut tidak akan disampaikan oleh mereka yang tidak membaca atau menulis apapun, tetapi tidak juga melakukan pekerjaan lain.
Ada pengalaman konkret para sahabat saya yang menjadi guru di seberang pulau, mereka sepulang sekolah tetap sibuk dengan urusan koreksian hingga menjelang akhir hari. Bahkan, tidak perlu jauh beranjak di kota ini pun, tidak sedikit guru yang bertekun dengan segala urusan persekolahan.
Untuk memperkaya pengetahuan sendiri pun bahkan terlupakan. Terhadap totalitas pada pekerjaan yang mereka lakukan tentulah saya patut memberikan apresiasi tersendiri. Ada anggapan bahwa pekerjaan tidak akan pernah selesai diberi waktu berapapun, tetapi waktu sedikitpun untuk membaca atau menulis tidak akan pernah kita dapatkan tanpa secara sengaja menyisihkannya.
Lebih mudah menenggelamkan diri dalam rutinitas pekerjaan daripada membiasakan membaca dan menulis. Kesibukan menjadi alasan untuk abai melakukan kegiatan membaca atau menulis. Tuan atas waktu Ada kesamaan waktu yang dimiliki para guru yakni 24 jam dalam sehari.
Jika semua guru mempunyai kesibukan yang sepadan, lantas apa bedanya? Bedanya adalah cara mengelolanya. John McGrath (2006) menyebut kunci kesuksesan adalah cara menggunakan waktu. Banyak orang (termasuk guru) suka memberitahukan betapa kerasnya mereka bekerja dan betapa tertekannya mereka.
Merasa tertekan seharusnya tidak perlu dipamerkan. Heroisme adalah mampu menangani banyak hal dalam kehidupan tanpa merasa tertekan. Humor kecil ini menjadi pertanda bahwa faktor utama perubahan hanyalah guru sendiri. Sebut saja gaji guru Amerika US$6.000.
Dalam sebulan, setelah berbagai pengeluaran dan kebutuhan terbayar, masih tersisa US$1.500. Ketika ditanya mengenai kegunaan sisa uang tersebut, jawabnya “It’s my business, itu urusan saya!” Guru Indonesia yang bergaji 1,5 juta sebulan, setelah menghitung segala kebutuhan dan sosialnya diperoleh angka 3 juta.
Ketika ditanya mengenai asal-usul untuk menutup kekurangannya, jawabnya “It’s my business, itu urusan saya!”. Jika defisit keuangan menjadi urusan diri sendiri, maka hal mengatur waktu, tidak bisakah guru juga bersikukuh memiliki waktunya sendiri, mengatur sendiri, bahkan menjadi tuan atas waktu sendiri.
Ada kebiasaan yang mudah dirumuskan, tetapi tidak gampang untuk dilaksanakan. Berikan waktu untuk porsi pekerjaan sekolah, berikan juga waktu untuk pribadi atau keluarga. Sebuah pengalaman pribadi, jika tidak dalam keadaan mendesak pantang membawa koreksian ke rumah.
Secara ajeg, pukul empat sore menjadi batas waktu untuk pekerjaan, selebihnya untuk pengembangan pribadi, baik membaca maupun menulis. Ada anggapan pekerjaan guru sangat melelahkan dan menyita banyak energi, sehingga usai mengajar para guru tidak lagi menyisakan tenaga untuk aktivitas produktif lainnya.
Jika persoalannya adalah energi, maka antusiasme haruslah dibangun lebih dulu. Antusiasme akan tumbuh jika ada impian-impian yang ingin diwujudkan. Akhirnya persoalan pengembangan diri, entah membaca ataupun menulis, tergantung impian-impian para guru sendiri.
Impian untuk konteks zaman kini biasa disebut visi. Kalau saya, sederhana saja “tidak ingin menjadi guru yang biasa-biasa saja”. Artinya, luar biasa (bukan biasa di luar alias banyak mangkir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar