Jakarta -
Menteri Keuangan diminta menciptakan formula dana perimbangan baru yang memberikan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan pendapatannya dan mengurangi belanja pegawainya.
Dengan cara begitu, diyakini banyak daerah yang melakukan perampingan birokrasi.
"Untuk itu, segera dilakukan perubahan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah," kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (4/7/2011).
Farhan mengatakan, menkeu seharusnya menyadari adanya berbagai kebijakan pegawai selama ini yang menjadi penyebab tingginya belanja pegawai di tingkat pusat maupun daerah.
Pertama, remunerasi yang terbukti tidak mengurangi perilaku korupsi birokrasi. Pada APBN-P 2010 dianggarkan Rp 13,4 triliun untuk remunerasi.
Bahkan, pejabat dengan grade I di Kemkeu dapat memperoleh remunerasi hinga, Rp 46,9 juta.
"Kedua, Kenaikan gaji secara berkala mulai tahun 2007 sampai 2011 antara 5-10 persen, serta pemberian gaji ke-13. Ketiga, rekruiment PNS terus menerus tanpa memperhatikan keterbatasan anggaran, juga kebijakan yang berimplikasi pada beban belanja pegawai seperti pengangkatan Sekdes menjadi PNS," katanya.
Menurut Farhan, akibat kebijakan-kebijakan ini, daerah khususnya Kabupaten/Kota, memiliki potret APBD yang lebih besar 'ongkos tukangnya' ketimbang belanja pekerjaannya.
Belanja pegawai semakin menggerus belanja modal daerah.
Berdasarkan analisisnya, pada tahun 2007, porsi rata-rata belanja pegawai daerah 44 persen meningkat menjadi 55 persen pada tahun 2010, sementara belanja modal mengalami penurunan dari 24 persen pada tahun 2007 menjadi 15 persen pada tahun 2010.
Bahkan pada APBD 2011, lanjut dia, terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60 persen dan belanja modalnya 1 sampai 15 persen.
Dari 124 daerah tersebut, sebanyak 16 daerah memiliki belanja pegawai di atas 70 persen.
"Tertinggi Kabupaten Lumajang yang memiliki belanja pegawai hingga 83 persen dan belanja modal hanya 1 persen.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka kebangkrutan akan segera mengancam daerah dalam 2-3 tahun mendatang, karena APBD-nya hanya digunakan untuk membiayai pegawai.
Otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan publik, sulit tercapai dengan semakin besarnya 'ongkos tukang'" katanya.
Selain memberi insentif, Fitra juga mengusulkan dilakukannya depolitisasi birokrasi.
Selama ini, Pembina Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) adalah Kepala Daerah.
Hal tersebut menyebabkan birokrasi dijadikan ajang politisasi kepala daerah untuk meraih dukungan birokrasi dengan menambah berbagai tunjangan dan rekrutment PNSD baru.
"Menyusun rasio jumlah pegawai.
Meskipun menurut Kempan rasio jumlah pegawai belum berlebihan dibandingkan jumlah penduduk, namun distribusinya tidak merata.
Oleh karenanya, standar rasio pegawai tidak hanya berdasarkan jumlah penduduk, namun juga memasukan kondisi geografis dan kemampuan fiskal daerah," ujar dia.
Berikut 16 kab / Kota dengan belanja pegawai 70 persen ke atas:
1. Kota Tasikmalaya 70 persen
2. Kabupaten Klaten 70 persen
3. Kota Bitung 70 persen
4. Kota Padang Sidempuan 70 persen
5. Kabupaten Sragen 70 persen
6. Kabupaten Purworejo 70 persen
7. Kabupaten Pemalang 70 persen
8. Kabupaten Kulon Progo 71 persen
9 Kabupaten Bantul 71 persen
10. Kabupaten Kuningan 71 persen
11. Kota Palu 71 persen
12. Kabupaten Simalungun 72 persen
13 Kabupaten Agam 72 persen
14 Kota Ambon 73 persen
15 Kabupaten Karanganyar 75 persen
16 Kabupaten Lumajang 83 persen
(irw/did)
http://www.detiknews.com/read/2011/07/04/063856/1673575/10/16-daerah-dengan-porsi-apbd-terbanyak-untuk-gaji-pns?n991102605
Tidak ada komentar:
Posting Komentar