Minggu, 16 Januari 2011

Jujur Vs Berbohong

Minggu, 16 Januari 2011 | 03:39 WIB

KRISTI POERWANDARI

Yang tidak biasa dan tergelincir berbohong akan gelisah karena ada yang terasa salah.
Yang berbohong dalam keseharian sebagai cara hidup kehilangan kepedulian, kesantunan, rasa malu, dan martabat.
Mereka adalah titik-titik nila yang merusak susu sebelanga.

Justru karena pernah berbohong, saya jadi mengerti bahwa itu perilaku salah karena langsung saja memunculkan rasa gelisah, takut, dan bingung.
Bahkan, saya langsung merasa muak kepada diri sendiri.
Bahkan, ketika orang lain tidak tahu pun, saya tetap merasa kecewa pada diri sendiri karena tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Terlebih bila gara-gara takut ketahuan, kebohongan itu terpaksa saya tutupi dengan kebohongan lain, kebohongan lain, dan kebohongan lain lagi.

Perilaku apa pun yang intensinya mengarahkan pada penyimpulan yang salah sesungguhnya adalah berbohong.
Semua orang pernah melakukannya, awalnya untuk melindungi diri dari situasi yang dianggap mengancam.

Penelitian Victoria Talwar dkk (2002, 2007) memperlihatkan bahwa perilaku berbohong telah ditampilkan anak pada usia sangat dini.
Satu contoh yang sering disebut adalah penelitian eksperimental, di mana anak diminta tidak mengintip mainan atau tidak bermain dengan mainan yang tersedia ketika ditinggalkan sendirian.
Karena kesulitan mengendalikan dorongan rasa ingin tahu, sebagian besar anak tidak mematuhi instruksi tersebut dan tetap mengintip atau mencoba bermain dengan mainan yang ada.
Ketika kemudian ditanya, mereka tidak mengakui tindakannya.

Mengintip mainan atau bermain bukan suatu tindakan buruk, tetapi dalam tahapan perkembangan moralnya, anak memahami ”baik-buruk” dari sejauh mana mereka mematuhi instruksi.
Jadi, ketika tidak mematuhi instruksi, mereka merasa buruk.
Karena takut dihukum, mereka berbohong.
Yang menarik adalah anak prasekolah menganggap berbohong itu sangat buruk dan yakin seorang yang berbohong akan merasa bersalah.
Mereka bahkan menganggap berbohong karena tidak patuh itu lebih buruk daripada ketidakpatuhan itu sendiri.
Artinya, pada usia sangat dini, anak mengerti bahwa tidak mematuhi aturan itu tidak baik, tetapi lebih buruk lagi berbohong.

Meski berkata jujur jauh lebih baik, menutupi kebenaran atau berbohong itu berbeda-beda kadarnya.
Kekacauan penegakan hukum yang ramai diliput media dan membuat kaget kita semua di awal tahun ini terkait dengan rangkaian perilaku berbohong yang seolah sudah jadi kebiasaan, hobi, cara hidup.
Ini menjatuhkan harga diri bangsa hingga sejatuh-jatuhnya.


Inti korupsi

Talwar menjelaskan bahwa kemampuan untuk berbohong secara meyakinkan akan makin berkembang sejalan usia.
Untuk berbohong meyakinkan, kita harus tidak saja memproduksi pernyataan palsu, tetapi juga menampilkan konsistensi antara pernyataan bohong pertama dan pernyataan-pernyataan berikutnya.
Artinya, kita harus banyak memproduksi rangkaian pernyataan palsu untuk menghindari inkonsistensi agar kebohongan tak terdeteksi.

Ditemukan tidak ada hubungan antara perilaku aktual dan pemahaman konseptual serta moral.
Anak yang menyuruh anak lain bicara jujur toh juga menampilkan perilaku berbohong untuk menutupi kesalahan sendiri.
Tampaknya lebih parah lagi yang tertampilkan pada orang dewasa karena orang dewasa justru sering berkata sangat moral dan religius, tetapi di belakang layar berperilaku sangat berkebalikan.

Menyamarkan, menutupi kebenaran, atau berbohong adalah inti dari semua tindakan buruk, malapraktik, penyelewengan kekuasaan, dan korupsi yang terus- menerus kita bahas belakangan ini.
Sistem makro yang terbangun dapat sangat memudahkan terjadinya kebohongan, penyelewengan, dan korupsi.
Takut terungkap keterlibatannya dalam kasus sama atau kasus-kasus lainnya, atau senang menikmati keuntungan duniawi dari kebohongannya, para pihak diam saja, pura-pura tidak tahu, atau malah melakukan langkah aktif untuk menutup informasi. Demikianlah berbohong dan korupsi melembaga.

Zyglidopoulos (2008) melihat betapa rasionalisasi dan overkompensasi sering digunakan individu untuk mengatasi disonansi atau kekacauan batin akibat berbohong/korupsi.
Vikas Anand dkk (2005) melihat lebih jauh lagi bahwa taktik rasionalisasi digunakan bukan saja oleh individu, tetapi juga kelompok secara kolektif dan kelembagaan untuk menetralisasi penyesalan atau perasaan negatif.
Bahkan, taktik- taktik sosialisasi ”pembenaran” juga kemudian diberikan kepada orang-orang baru yang masuk dalam organisasi.

Menjaga martabat

Yang ngeri adalah bila saking seringnya bicara tidak jujur, manusia mematikan kemanusiaannya: kepedulian, hati nurani, tanggung jawab sosial, dan martabat diri. Bersyukurlah kita yang pernah berbohong, merasa sangat tidak nyaman, dan tersadarkan bahwa itu adalah petunjuk dari kebaikan hidup untuk berhenti.

Bersyukurlah kita yang berhenti pada satu kebohongan, tidak menindaklanjuti dengan rangkaian pernyataan palsu lain.
Bersyukurlah kita yang tidak seperti banyak tokoh yang ramai dimuat dalam media. Mereka sungguh telah membunuh martabatnya karena lebih takut berbicara jujur daripada berbicara bohong, menciptakan realitas palsu untuk menghilangkan kemuakan pada diri sendiri.
Meski hidup dalam ketidakjujuran, fasih berkelit dengan penjelasan teknis-normatif, dan tetap mantap mengklaim diri sebagai pemimpin.

Penegak hukum dan pemimpin yang menutup-nutupi kebenaran dan tidak mampu berkata jujur menjadi penanggung jawab utama kehancuran seluruh sendi kehidupan lembaga dan bangsa yang dipimpinnya.
Dengan nyaris tiadanya pemimpin yang memberi keteladanan, semoga siapa pun juga terpanggil untuk mengembalikan martabat kemanusiaan kita, setidaknya dengan mulai memimpin diri sendiri untuk berkata dan bertindak jujur.
Belum terlambat untuk menjaga martabat.
Biarlah keajaiban kebaikan menuntun kita semua untuk membawa diri, keluarga, lembaga, masyarakat, dan bangsa menjadi lebih baik pada tahun 2011 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar