Sabtu, 24 Juli 2010

KINERJA BURUK Pimpinan DPR Kehabisan Akal Tegur Anggota Malas

Minggu, 25 Juli 2010 | 03:28 WIB



Jakarta, Kompas - Sejumlah unsur pimpinan DPR dan Badan Kehormatan DPR setuju mengumumkan kepada publik tentang kinerja anggota DPR yang malas menghadiri rapat. Mereka juga menyetujui pemanfaatan teknologi pemindai sidik jari (fingerprint) deteksi kepastian kehadiran anggota dalam rapat-rapat resmi DPR.
Usulan mengumumkan absensi anggota DPR dan pemanfaatan pemindai sidik jari tersebut mengemuka di tengah keprihatinan publik akan banyaknya anggota DPR yang malas menghadiri rapat-rapat di DPR.
”Pimpinan Dewan sudah kehabisan akal untuk mencari cara menegur anggota DPR yang malas. Seharusnya itu tugas pimpinan fraksi menegur anggotanya. Kalau usulan ini baik untuk semua, ada baiknya kita coba,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Sabtu (24/7).
Menurut Priyo, keprihatinan akan buruknya tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat sudah muncul di kalangan pimpinan DPR sejak sebulan lalu. Bahkan, seluruh pimpinan DPR menandatangani surat yang dikirim melalui pimpinan fraksi, yang intinya meminta anggota untuk mengindahkan tingkat kehadiran di persidangan. Hal itu penting karena bisa memengaruhi citra DPR menjadi terpuruk.
Dalam surat itu juga disebutkan, Badan Kehormatan DPR diminta tak ragu-ragu mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan sanksi bagi anggota yang tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas. Selain itu, pimpinan DPR juga tengah mempertimbangkan kemungkinan mengurangi tunjangan kehormatan anggota DPR yang tidak menghadiri rapat tanpa alasan yang jelas.
”Bisa saja, misalnya, dibuat aturan, tunjangan kehormatan dipotong hingga 60 persen ketika mereka tidak menghadiri rapat tanpa alasan jelas dalam beberapa kali secara berturut-turut,” katanya.
Secara terpisah, Ketua DPR Marzuki Alie mengakui, sebagian anggota DPR masih menganggap tingkat kehadiran dalam rapat-rapat di DPR tidak penting. Belum banyak anggota yang menyadari bahwa tingkat kehadiran tersebut menunjukkan kualitas dan komitmen mereka dalam mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
”Saya setuju sekali jika tingkat kehadiran itu diumumkan kepada publik. Setidaknya ada sanksi moral bagi anggota yang malas,” katanya.
Meski demikian, menurut Marzuki, mengumumkan tingkat kehadiran anggota DPR tetap harus diputuskan bersama. ”Tidak bisa sebagai pimpinan saya memutuskan sendiri,” katanya.
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Nudirman Munir juga sepakat jika ketidakhadiran anggota DPR diumumkan kepada publik. Pengumuman itu bisa dilakukan setelah data kehadiran direkapitulasi dan dikonfirmasikan kepada ketua fraksi.
Usulan penggunaan teknologi dalam merekapitulasi data kehadiran anggota DPR, termasuk di antaranya kemungkinan menggunakan teknologi pemindai sidik jari, menurut Marzuki, sebenarnya sudah diakomodasi dalam tata tertib DPR, tetapi hal itu belum dilaksanakan. ”Kami berharap kesekjenan bisa segera menerapkan teknologi itu,” katanya.
Menurut Marzuki, penggunaan teknologi pemindai sidik jari sudah jamak ditemui di parlemen di luar negeri, antara lain di Turki dan Iran. Jika teknologi itu bisa diaplikasikan di ruang-ruang rapat DPR, waktu yang dibutuhkan untuk membuat laporan kehadiran anggota juga semakin singkat.
”Dengan cara itu, rapat bisa berjalan efektif. Anggota tidak bisa lagi absen lalu meninggalkan rapat sebelum rapat berakhir. Anggota juga tidak bisa lagi menitipkan kehadirannya kepada orang lain,” katanya.
Penerapan teknologi tersebut juga dinilai tidak mahal karena bisa saja memanfaatkan jaringan komputer yang tersedia. Pengadaan alat pemindai sidik jari tersebut diperkirakan juga hanya menghabiskan biaya dalam kisaran jutaan rupiah.
Pelecehan DPR
Desakan penggunaan teknologi itu, menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap DPR. Desakan publik ini muncul karena publik sudah tidak bisa memberikan toleransi lagi kepada anggota DPR yang malas.
”Sebenarnya ini bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap DPR karena sebagai orang yang dipercaya dan dipilih rakyat harus menggunakan fingerprint untuk menunjukkan kehadirannya,” katanya.
Priyo menyadari, penggunaan pemindai sidik jari sebenarnya tidak cocok diterapkan bagi anggota DPR. Anggota DPR pada dasarnya pemimpin yang dipilih rakyat dan tidak perlu diberlakukan absensi seperti pekerja kantoran.
Meski demikian, menurut Priyo, teknologi itu layak dicoba untuk memperbaiki kinerja DPR. ”Susah payah kami membangun citra DPR yang lebih baik. Usaha itu runtuh seketika gara-gara persoalan ketidakhadiran anggota DPR yang terus-menerus mengemuka,” katanya. (WHY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar