Minggu, 20 Juni 2010

Kenaikan kelas


Kamis, 17 Juni 2010 10:31:02

Usai ulangan umum semester kedua, yang jamak terjadi adalah kenaikan kelas untuk siswa SD, SMP dan SMA. Perolehan nilai selama setahun dipertimbangkan sebagai syarat kenaikan kelas. Pembahasan kenaikan kelas terhadap siswa oleh seluruh guru menjadi kesempatan untuk meneguhkan keutamaan pendidik dalam mendidik. Yang belum pernah terlibat, tentu tidak gampang membayangkan betapa menariknya suasana di dalamnya.

Meminjam istilah Alex Shirran dalam Evaluating Students (2008), dalam rapat membahas siswa, guru tidak mudah untuk menghindari efek 'halo' yakni kecenderungan untuk menaikkan angka karena siswa memberikan kesan baik, bukan berdasarkan kualitas, dan efek 'garu' (garpu rumput) yakni menurunkan angka siswa berdasarkan kesan negatif.

Menaikkan atau tidak menaikkan perolehan angka bukanlah persoalan katrol-mengatrol. Di sana ada upaya memberikan penghargaan kepada siswa. Nilai mestinya mencerminkan proses pembelajaran. Prestasi murid bukan sekadar usaha siswa, tetapi wujud kinerja guru. Memperhitungkan perihal afeksi atau sikap siswa bisa jatuh pada penilaian sepihak, sekadar tuduhan yang bersifat asumtif belaka.

Satu hal yang patut dicatat adalah ketika membahas siswa di ruang rapat, siswa tidak hadir dan membela diri, sangat mungkin terjadi penilaian sepihak. Terhadap situasi ini, setiap guru semestinya mengenal setiap siswanya secara pribadi.

Ada inspirasi dari tradisi pendidikan yang terlupakan yakni pentingnya cura personalis dalam dinamika persekolahan. Relasi guru dengan siswa adalah relasi pribadi, bukan relasi transaksi. Cura personalis dimaknai sebagai perhatian atau pemeliharaan kepada setiap pribadi siswa. Mengenal, bersemuka, dan memahami perkembangan setiap pribadi siswa tentunya prasyarat yang mesti dipenuhi untuk menghidupi cura personalis, dengan demikian guru tidak terhenti pada relasi administratif dengan siswanya.

Sebuah sekolah swasta yang tergolong berusia muda mempunyai semboyan bersekolah dengan senang dan senang di sekolah. Jiwa yang hidup, jiwa yang senang, atau jiwa yang kreatif dari para siswanya telah menjadi impian bersama. Semboyan itu terjadi kalau relasi seluruh keluarga civitas terjadi kedekatan. Untuk mewujudkan relasi, semestinya secara proporsional perlu diperhitungkan jumlah siswa yang mesti menjadi perhatian guru. Tentu tidak disarankan pendidikan ala pabrik alias industri sekolah ombyokan. Padahal sekarang sekolah-sekolah favorit berlomba menambah jumlah daya tampung demi mengejar kewajiban guru mengajar 24 jam. Pendidikan demikian hanya akan menjauhkan guru dari siswa. Guru pun akhirnya akan lebih suka menyibukkan diri pada urusan administratif daripada membangun relasi pribadi mengenal siswanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar